Hari-Hari Menjelang Gus Mik Tutup Usia (2) Disiapkan Tiket ke Singapura, Pergi ke Ampel

SEMAAN MANTAP JABODETABEK

Ditulis Kembali Oleh : Wylldy. F. S

11/7/20244 min read

Lanjutan..
Sebenarnya, sakit yang diderita Gus Mik sudah dirasakan sejak setahun belakangan. Namun, tokoh sentral Semaan Alquran Mantab itu lebih banyak bersikap diam dan memilih tak menghiraukan penyakitnya. Padahal, jenis penyakitnya tergolong ganas, yakni kanker paru-paru dan ginjal. Berikut ini lanjutan tulisan tentang Gus Mik oleh H. Sholihin Hidayat, wartawan Jawa Pos yang dikenal sangat dekat dengan almarhum.

Ini adalah salah satu kepasrahan Gus Mik dalam menyikapi segala sesuatu yang dikaruniakan Allah kepada dirinya. Kepasrahan dan kebesaran jiwanya dalam menerima ujian, termasuk penyakit itu, tampak jelas dari sikapnya yang tidak mau mengeluh sakit, apalagi sengaja menunjukkan kepada orang lain bahwa dirinya tengah sakit.

Beberapa orang dekatnya yang selama ini menemani Gus Mik dalam berbagai "pengembaraan" malamnya lantas berusaha membujuk dan merayu Gus Mik agar bersedia memeriksakan kesehatannya ke dokter. Hal itu baru mereka lakukan belakangan ini, setelah mengetahui berat badan Gus Mik menurun drastis dan batuknya tak kunjung reda. Baba Moetaryogo (public relation/external affairs PT Bayu Argo-Coca Cola) bersama dr. H. Tommy Sunartomo (ahli anestesi RSUD dr. Soetomo) adalah dua di antara santri dekatnya yang terus berupaya merayu Gus Mik agar bersedia ke dokter. Gus Mik sendiri, meski terus dibujuk, sama sekali tak bergeming. Setelah rayuan dan bujukan makin gencar, Gus Mik tak bisa menghindar. Mula-mula, dr. Tommy-lah yang berusaha memeriksa sendiri kesehatan Gus Mik. Kemudian dr. H. Kabat. Meski sudah dibilang bahwa sakitnya cukup parah, Gus Mik tetap senyum dan tak mau masuk rumah sakit, apalagi sampai dirawat. "Saya memang paling takut dengan dokter," begitu katanya kepada saya, suatu ketika.

Walaupun Tommy sudah sangat dekat dan sering terlibat dalam "perjalanan" malam Gus Mik, rayuan dia tetap tak cukup ampuh untuk meluluhkan hati sang Gus yang punya sejuta santri di seluruh pelosok Jawa itu. Bahkan, suatu hari, ketika Gus Mik mau diperiksa dan siap di rumah Baba di kawasan Manyar, ternyata ada saja halangannya.

"Waktu itu saya belum bawa alat-alat periksa. Kemudian saya mengambil alat-alat itu ke RSUD. Ternyata, mobil saya yang masih tergolong baru dan tak pernah rewel itu mogok di tengah jalan," jelasnya. Beberapa hari berikutnya baru saya tahu bahwa Gus Mik memang belum bersedia diperiksa," tambah Tommy.

Kondisi yang sesungguhnya atas penyakit Gus Mik baru diketahui sekitar empat bulan lalu, seusai dirontgen di rumah dr. Djoko Sumantri. "Saya sempat tertegun melihat hasil foto itu. Dalam kondisi penyakit kanker yang sudah menyebar ke mana-mana, sampai di ginjal dan menyumbat kerongkongan, ternyata Gus Mik masih kelihatan ceria dan biasa-biasa saja," kata Baba.

"Kalau diukur dengan manusia kebanyakan," tambah Ny. Nana Fauzana, istri dr. Tommy, dalam kesempatan terpisah, "kondisi penyakit semacam itu sudah membuat orang koma atau sama sekali tak kuat melakukan aktivitas apa pun. Ternyata, Gus Mik tak apa-apa. Dan, bahkan masih terus menemui santri-santrinya di 'pos-pos' umum, seperti di Elmi."

Sejak sakit hingga meninggal, Gus Mik tak pernah koma. Bahkan, meski fisiknya lemah dan sulit melakukan aktivitas sebagaimana biasa, daya pikir dan daya ingat Gus Mik tetap sehat. Petuah-petuahnya terus meluncur, meski dia berbaring di rumah sakit. Bulan lalu, ketika Jawa Pos menjenguk di kamar 409 RS Budi Mulia, Gus Mik bahkan menceritakan bahwa penyakitnya sulit disembuhkan. Katanya, ada 14 anggota tim dokter, termasuk satu dokter dari Singapura, yang menyatakan penyakit itu sudah sangat akut dan tak bisa dioperasi di Indonesia. "Rumah sakit yang bisa menanganinya baru ada di Australia dan Singapura," ujarnya ketika itu.

Dalam kondisi berbaring, Gus Mik bahkan masih bisa menceritakan satu per satu murid dan santrinya serta peristiwa-peristiwa yang pernah mereka alami bersama Gus Mik. Bahkan, menurut KH Achmad Zainuddin Jazuli, kakak tertua sang tokoh, meski sakit seperti itu, Gus Mik masih bisa menghafal sekitar 12.000 nomor telepon kawan-kawan atau santri-santrinya. "Bahkan, ketika ada adik saya yang mau pergi setelah menjenguk Gus Mik di rumah sakit untuk sebuah keperluan, dia masih bisa menyebut beberapa nomor telepon perusahaan taksi. Dia memang menyarankan agar saudara saya itu pergi dengan naik taksi saja," kata Gus Din, panggilan Kiai Zainuddin. Hal-hal kecil seperti itu tetap tak hilang dari ingatan Gus Mik. Begitu juga nama-nama teman lamanya yang pernah bertemu dia sepuluh atau dua puluh tahun lalu, Gus Mik tetap saja ingat tanggal, bulan, dan bahkan pakaian yang dikenakan serta pembicaraan mereka. "Ingatan Gus Mik memang sangat tajam. Tentang kitab-kitab yang pernah dia pelajari, misalnya, meski selama bertahun-tahun tak pernah dipegang, Gus Mik masih bisa mengajarkan kitab-kitab itu," kata Gus Din.

Walaupun ingatan tetap jernih dan sama sekali tak mengalami koma, kondisi kesehatannya justru terus menurun. Karena itu, beberapa santri dekatnya terus mengupayakan agar Gus Mik mau dirawat dan dioperasi di Singapura. Baba, yang juga dikenal sebagai salah satu dari empat sekawan yang menemani Gus Mik hingga tutup usia Sabtu pekan lalu di RS Budi Mulia, kemudian mengambil inisiatif. Rayuan dilancarkan. Dan, Gus Mik mengangguk.

Dia kemudian melakukan kontak-kontak dengan beberapa rumah sakit terkenal di Singapura. Setelah menemukan rumah sakit melalui salah seorang saudaranya, Baba kemudian membuat paspor Gus Mik. Paspor jadi, rumah sakit ada, biaya dipersiapkan, ternyata Gus Mik menyanggupi beberapa hari lagi. "Apa tiketnya dipesan sekarang, Gus?" rayu Baba waktu itu. "Tiga hari lagi sajalah, Pak Baba, pesan tiket," jawabnya.

Ternyata, pada hari yang disepakati untuk menentukan kapan berangkat ke Singapura, Gus Mik justru pergi. "Padahal, waktu itu dia sedang dirawat di rumah sakit," kata Baba. Setelah tengah malam baru kembali ke rumah sakit, ternyata Gus Mik pergi ke Tunjungan Plaza dan kemudian ke Ampel.

Belakangan, Baba dan juga beberapa santri dekatnya harus tahu bahwa Gus Mik memang tak mau dirawat atau dioperasi. Dia malah berterima kasih diberi penyakit kanker oleh Allah. Ucapan terima kasih selalu dia barengi dengan ucapan Alhamdulillah berkali-kali.

Mengapa? "Dalam kondisi seperti ini, manusia akan tahu siapa dirinya. Dia adalah makhluk yang lemah. Tak berdaya ketika berhadapan dengan kekuatan yang maha dahsyat," ujarnya suatu ketika.

Dan, sikap pasrah, tabah, serta menerima segala yang diberikan Tuhan, dia tunjukkan sampai akhir hayatnya. Gus Mik tak pernah mengeluh atau bersikap menyesali penyakit yang dideritanya. Gus Mik kembali ke hadapan-Nya dengan senyum. Benarlah sabda Nabi Muhammad SAW, "Ketika ibumu melahirkan kamu, semua orang di sekeliling menertawakan, sedangkan kamu menangis. Dan, ketika kamu meninggalkan dunia fana ini, orang di sekitarmu menangis sementara kamu tersenyum." Mudah-mudahan almarhum diridhai Allah. (bersambung)