Sejak 1990, Gus Mik menyiapkan makamnya
SEMAAN MANTAP JABODETABEK
Ditulis Kembali Oleh : Wylldy. F. S
11/7/20242 min read
SELAIN semaan Alquran "Mantab" yang jamiyahnya mencapai ratusan ribu orang dari berbagai kalangan muslim, masih ada cetusan ide Gus Mik semasa hidup yang bersifat monumental, sekaligus mencengangkan orang awam. Dia wujudkan Makbaroh lil arbalina minsholihin, sebuah areal makam seluas 0,5 hektar. Areal pemakaman itu ia siapkan untuk persemayaman 40 orang yang punya "titel" shalihin.
Bulan April 1990 lalu, dia memang membeli lahan di dekat pusara tiga orang syeh asal Timur Tengah, seluas 0,5 hektar di Dusun Tambak, Desa Ngadi, Kecamatan Mojo. Tanah itu dibeli nya bukan untuk areal sentra industri, real estate atau bisnis duniawi lainnya seperti yang dilakukan para konglomerat. Areal pekuburan yang disediakan untuk 40 orang waliullah, yang belakangan dinamai makam Aulia Tambak. Sebab lokasinya memang di Dusun Tambak
Ketertarikan almarhum Gus Mik atas areal yang berstatus tanah negara itu, lantaran di situ terdapat tiga makam yang konon para syeh berasal dari Timur Tengah. Pusara-pusara itu merupakan makam Syeh Abdul Qo dir Khoiri (Iskandariyah/Mesir), Sveh Abdullah Sholih (Istambul Turki), dan Syeh Muhammad Hairman Arum Istambul Turki. Ketiga syeh ini diduga sebagai tokoh penyebar agama Islam di Jawa kala itu.
Menurut juru kunci makam Aulia Tambak, Abdul Wakhid, pertama kali tiga pusaran syeh asal Timur Tengah itu ditemukan Mbah Seno Atmojo, prajurit asal Yogyakarta yang lari dari kepungan penjajah Belanda menjelang kejatuhan Pangeran Diponegoro, tahun 1830. "Tiga pusara itu ditemukan Mbah Seno Atmojo saat membuka hutan. Karena dianggap makam orang-orang suci, lalu dirawat dan diziarahi hingga masanya Gus Mik," ujar Abdul Wakhid. Dia juga mengaku sebagai juru kunci turun keempat, sejak ditemukannya makam itu. Itu sebabnya pusara kuno temuan sekitar tahun 1830 itu, konon amat dikeramatkan Gus Mik maupun kaum Aulia pendahulunya, lantaran diyakini bisa memunculkan sinar barokah. Juga kala hati Gus Mik sumpeg, bisa plong bila sudah berzikir lama di depan pusara itu. Berawal dari keyakinan itulah, tahun 1990 Gus Mik membeli tanah seluas 0,5 hektar disekitar pusara kuno, untuk mewujudkan gagasannya membuat monumen makam 40 waliullah Adalah Abdul Wakhid, si juru makam itu, diantara orang yang mengaku tercengang dengan cetusan ide Gus Mik.
"Saya tak mengira tanah 0,5- hektar dibeli Gus Mik untuk Makharoh lil arbaiina minsholihin. Saya kira dibuat pesantren atau apa, akunya.
Ditambahkan, bisikan Gus Mik yang memisalkan waliullah yang akan dimakamkan di areal makamitu antara lain KH. Anish Ibrohim asal Tulungagung, ternyata menjadi kenyataan.
"Baru sebulan Gus Mik bicara begitu, wallahu 'alam Kiai Anish wafat. Dan jenazah beliaulah yang pertama dimakamkan di sini, katanya lagi.
Seperti catatan Surya, setelah almarhum KH. Anish Ibrohim (pengasuh Ponpes Asaya fiiyah, Tulungagung) dimakam kan tahun 1990. Selanjutnya berturut-turut tahun 1991 dan 1992 jenazah KH. Achmad Siddiq (pengasuh Ponpes Assidiqiyah, Jember) dan Bani Askar yakni santri kesayangan Gus Mik maupun KH. Achmad Siddiq ini juga dimakamkan di makam Aulia Tambak, yang terletak 10 km, selatan kota Kediri.
Dan Minggu (6/6) kemarin, giliran jenazah Gus Mik (panggilan akrab KH. Chamim Tohari Djazuli) diiringkan ribuan pentakziah dan dimakamkan di areal yang dibelinya sendiri.
"Memang itu sudah menjadi cita-cita luhur beliau sebelum dipanggil Allah, lahan itu cukup untuk makam 40 waliullah. Makanya jenazah adik saya juga di makamkan di sini," kata KH. Zaenuddin Djazuli, kakak kandung Gus Mik sekaligus pimpinan Ponpes "Alfalah" Ploso Mojo, Kediri.
Meski Gus Mik, pencetus ide terwujudnya monumen makam 40 wali, itu sudah tutup usia dan dimakamkan di monumen "cita- cita" nya sendiri, namun keluhuran prakarsanya itu akan berlanjut terus.
"Memang cita-citanya yang luhur harus diteruskan. Kami berharap tokoh-tokoh aulia di Jatim, bahkan dalam skup ulama se-Indonesia, bisa dimakamkan di sini. Semisal jenazah KH. Achmad Siddiq itu," kata Gus Din, panggilan KH. Zaenuddin Djazuli. (assadurahman)