Tanggapan untuk Diskusi CSIS: (1) Benarkah Otoritas Kiai Merosot?
SEMAAN MANTAP JABODETABEK
Ditulis Kembali Oleh :Wylldy. F. S
10/28/20244 min read
Diskusi hasil pemilu di CSIS Jakarta menyimpulkan bahwa kemerosotan suara Golkar di Jatim dan Jateng terjadi karena Golkar salah melakukan pendekatan terhadap tokoh panutan di pesantren dan kampus (Surya, 10/7/1992). Ini sangat mengejutkan karena pendapat itu cukup kontroversial, terutama yang berkaitan dengan penilaian atas otoritas seorang kiai di tengah umat.
Dr. Riswandha Imawan, pakar politik dari UGM, mengajukan pandangan yang cukup kontroversial. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa para dai yang berada di berbagai lapisan berperan dalam kehidupan para santri. Malahan, menurut Riswandha, masyarakat kelas menengah intelektual yang makin kritis tidak lagi terlampau patuh pada pilihan politik kiainya.
Bagi kalangan intelektual yang tidak akrab dengan dunia pesantren, pandangan Riswandha yang menganggap otoritas kiai dalam Pemilu 1992 merosot, baik bagi santri maupun masyarakat kelas menengah intelektual, mudah diterima sebagai suatu fenomena baru yang tak perlu dipertanyakan keabsahannya. Namun bagi masyarakat pesantren, terutama peneliti sosial yang akrab dengan dunia pesantren, pandangan Riswandha tersebut perlu dipertanyakan keabsahannya karena dinilai sebagai pandangan dari luar pesantren (etic) dan bukan pandangan orang dalam pesantren (emic). Benarkah otoritas kiai di tengah umat, terutama di pesantren, sudah merosot? Benarkah peranan para dai melebihi peranan kiai dalam kehidupan para santri? Benarkah kalangan kelas menengah intelektual tidak lagi terlampau patuh pada pilihan politik kiainya?
Otoritas Kiai di Pesantren
Bagi masyarakat pesantren, doktrin yang berkait dengan otoritas seorang kiai sebagai "pewaris para nabi" sudah sedemikian mengakar, bahkan melekat secara inheren dalam kehidupan. Doktrin yang diambil dari hadist itu sering mengarah ke proses pengkultusan terhadap kiai dalam segala hal (Hasyim, 1983; Sunyoto, 1990; Arifin, 1992). Karena kedudukan kiai dalam doktrin tersebut sedemikian sentral, secara umum fungsi kiai bagi masyarakat pesantren adalah: (1) sebagai penyiar agama Islam, (2) pemimpin spiritual, (3) pengemban amanat Allah, (4) pembina dan pelindung umat, (5) penuntun umat, (6) penegak kebenaran, (7) panutan dan suri tauladan umat, dsb.
Untuk menjadi seorang kiai tidaklah gampang. Sebutan kiai tidak diperoleh secara otomatis, sebagaimana gelar-gelar di sekolah formal (Arifin, 1992). Seorang ahli ilmu agama tidak berarti bisa disebut ulama, apalagi kiai (Rahardjo, 1974; Hirikoshi, 1987). Hal tersebut berkaitan dengan doktrin tentang barokah dan ijazah, yang hanya dikenal dan dipahami oleh masyarakat pesantren.
Otoritas Kiai di Tengah Umat Islam
Sejarah pasang surut umat Islam di Jawa menunjukkan bahwa doktrin kekiaian yang mengakar di masyarakat muslim sejak abad ke-15 mengalami semacam "benturan" dengan meluasnya "paham tak bermazhab" yang dibawa oleh mereka yang menamakan diri kaum modernis. Mereka tidak saja menyebarluaskan paham tak bermazhabnya kepada para pengikutnya, tetapi juga menyebarkan sikap antipati terhadap kiai beserta kompleksitas doktrin kekiaian.
Kaum modernis melakukan pelbagai upaya dalam mengembangkan fahamnya. Mereka mengecam para kiai sebagai penyebar takhyul, bid'ah, khurafat, taqlid, dan kesesatan lainnya. Mereka menuduh kiai sebagai penyebab kejumudan dan kemandegan perkembangan umat Islam. Mereka juga menuding kiai sebagai penyebab kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan umat. Umumnya, faham tak bermazhab kaum modernis yang memusuhi para kiai memperoleh sambutan dari dunia pendidikan umum yang menerapkan sistem persekolahan warisan pemerintah kolonial Belanda. Namun, gerakan kaum modernis tersebut tetap tidak mampu "mendobrak" otoritas kiai beserta doktrin kekiaianya di dunia pesantren.
Sementara itu, dengan semakin lajunya perubahan zaman, dunia pesantren pun mengalami pelbagai perubahan. Beberapa tokoh kiai mulai mengadaptasi sistem persekolahan (schooling) ke dalam pesantren. Malahan, ada sebagian kiai pesantren yang justru mengutamakan lembaga sekolah, baik yang disebut madrasah maupun madrasah diniyyah. Itu, secara langsung atau tidak, semakin memperluas dan memperkuat doktrin kekiaian di antara umat Islam yang mengaku Ahlus Sunnah wal-Jama'ah.
Sistem persekolahan yang berjenjang melahirkan kelas menengah intelektual. Di kalangan umat Islam Indonesia, kelas ini terpilah menjadi dua kelompok. Pertama, kelas menengah intelektual dari kalangan modernis yang sejak awal memang sudah antipati dengan kiai. Kedua, kelas menengah intelektual dari kalangan santri tradisional yang tetap setia mendukung faham kiai sentris. Dari sisi ini, terasa gegabah sekali jika disimpulkan bahwa seluruh kalangan kelas menengah intelektual tidak lagi terlampau patuh pada pilihan politik kiainya.
Otoritas Kiai dalam Politik
Agama Islam, secara alamiah, tidak pernah memisahkan antara dunia keagamaan dan politik. Oleh sebab itu, bukan hal yang tabu jika sebagian kiai berkecimpung di dunia politik, sebab Nabi Muhammad SAW pun semasa hidupnya memberikan keteladanan untuk itu. Selain sebagai utusan Tuhan, beliau juga bertindak sebagai kepala negara, panglima militer, politikus, sekaligus pemimpin keagamaan.
Sejarah pertumbuhan umat Islam di Jawa beserta kompleksitasnya jelas menunjukkan peran kiai dalam politik di Jawa. Dalam kitab Pararaton, setidaknya disebutkan bahwa imam Masjid Agung Demak, Sunan Ngudung, beserta para santri dan dibantu para kiai lainnya, menyerang Majapahit, meski ditentang oleh Sunan Kalijaga (Brandes, 1920). Sementara itu, perselisihan antara Jaka Tingkir (Raja Pajang) dan Arya Penangsang (Raja Jipang) yang dimotori oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus (Brandes, 1901), menunjukkan betapa besarnya peran para kiai dalam masa-masa awal tumbuhnya agama Islam di Jawa.
Sejarah keterlibatan para kiai di dunia politik tidak kalah dominannya saat Indonesia dijajah bangsa Eropa. Pelbagai upaya menentang kehadiran Eropa, sejak perlawanan Fatahillah, Mataram, Gowa, Ternate, Diponegoro, Paderi, Aceh, sampai perang kemerdekaan RI, nyaris tidak lepas dari peranan para kiai. Saat penjajahan Jepang dimulai di Indonesia, para kiai seperti KH Hasyim Asy'ari dan KH Mas Mansyur tegas menolak ketentuan melakukan Seikere (pembungkukan ke arah Timur Laut untuk mengkultuskan Tenno Heika di Jepang), meski untuk itu mereka berdua mengalami siksaan Kenpetai yang mengakibatkan wafatnya KH Mas Mansyur.
Fluktuasi politik di Indonesia seusai kemerdekaan sampai tahap pembangunan tinggal landas pada posisi yang tak bisa diabaikan oleh partai-partai peserta pemilu akibat otoritas kekiaianya. Oleh sebab itu, cukup wajar jika dalam putaran pemilu beberapa periode terakhir, pelbagai upaya pendekatan, baik oleh Golkar maupun PDI, terutama PPP atas para kiai, nyaris tak pernah ditinggalkan. Masing-masing OPP seolah-olah mengetahui bahwa otoritas kiai yang sedemikian kuat bisa dijadikan salah satu sumber perolehan suara potensial.