WAWANCARA (1) Saya Sudah Terbawa Globalisasi.

SEMAAN MANTAP JABODETABEK

Wylldy. F. S

11/12/20242 min read

Gus Mik, atau Kiai Haji Hamim Jazuli, adalah seorang kiai yang tidak hanya dikenal di Jawa Timur, tetapi juga di seluruh Jawa. Semaan Alquran yang ia pimpin sering kali menarik ribuan jamaah yang datang dari berbagai daerah, mulai dari Jawa Timur, Jawa Tengah, hingga Jakarta. Semaan Alquran yang ia inisiasi bukan sekadar kegiatan mengaji, namun telah menjadi tradisi yang melibatkan ribuan "samiin-samian" atau para pendengar setianya.

Dalam kesehariannya, Gus Mik dikenal sebagai sosok yang sederhana namun berjiwa besar. Meskipun memiliki pengaruh yang sangat besar, ia tetap rendah hati, lebih memilih duduk bersama jamaah di lantai daripada di podium. Ia juga dikenal suka berpakaian kasual, sering kali mengenakan celana jeans yang mungkin terkesan tidak konvensional bagi seorang kiai. Meskipun demikian, masyarakat tetap menghormatinya karena karisma dan kebijaksanaannya dalam membimbing jamaah.

Gus Mik memiliki tempat khusus di Tambak, sebuah lokasi yang juga menjadi makam para auliya atau wali Allah, termasuk makam Kiai Haji Achmad Siddiq, mantan Rais Aam PBNU. Tempat ini sering dikunjunginya untuk berdoa dan memastikan keadaan makam. Ia memiliki perhatian khusus terhadap juru kunci di Tambak yang hidup dalam keterbatasan ekonomi, menunjukkan sisi sosial Gus Mik yang tidak hanya peduli pada aspek spiritual, namun juga kesejahteraan orang lain.

Sebagai seorang pemimpin spiritual, Gus Mik juga sering dimintai pendapat dan nasihat tentang urusan duniawi oleh para jamaahnya, terutama yang berkaitan dengan ekonomi dan bisnis. Banyak jamaah dari latar belakang ekonomi yang kurang, datang kepadanya untuk mencari solusi dalam menjalani kehidupan. Ia kerap memberikan pandangan tentang cara berbisnis yang baik, dan bahkan menyarankan keterampilan praktis agar mereka bisa mandiri. Baginya, meskipun banyak santri dan masyarakat malu untuk bekerja di sektor informal seperti jualan kopi, pekerjaan tersebut lebih mulia daripada gengsi dengan pekerjaan "keren" namun tidak halal.

Gus Mik menyoroti kurangnya pendidikan keterampilan di pesantren-pesantren, termasuk pesantren yang ia pimpin sendiri, Al-Falah. Menurutnya, agar santri dapat mandiri secara ekonomi di masa depan, mereka perlu memiliki keterampilan praktis. Ia menyebutkan beberapa pesantren seperti Gontor dan Pondok Pabelan yang sudah mengajarkan keterampilan, namun mengingatkan pentingnya keseimbangan antara keterampilan dan spiritualitas. Ia berharap, pesantren bisa memberikan pendidikan yang lebih luas dan tidak hanya fokus pada ilmu agama.

Gus Mik memiliki pandangan yang cukup moderat dalam melihat efek globalisasi pada masyarakat Islam, termasuk cara berpakaian. Menurutnya, perubahan yang terjadi, seperti banyaknya remaja Muslim yang tidak lagi berjilbab sesuai tradisi, mungkin bisa dianggap sebagai "kemajuan" atau "efek globalisasi." Namun, ia juga melihat ini sebagai tantangan bagi para ulama untuk mempertahankan nilai-nilai spiritualitas di tengah perubahan zaman.

Dalam wawancara tersebut, Gus Mik juga berbicara mengenai politik, khususnya Pemilu dan Golkar. Menurutnya, meskipun Golkar kehilangan beberapa kursi dalam Pemilu, hal itu bukan penurunan, tetapi peningkatan kejujuran dalam proses demokrasi. Ia mengingatkan bahwa Golkar telah memberikan banyak kontribusi dalam pembangunan infrastruktur selama Orde Baru dan bahwa masyarakat perlu menghargai capaian ini.

Gus Mik juga mengomentari fenomena "Golput" atau golongan putih yang tidak menggunakan hak pilihnya. Menurutnya, sebagian besar dari mereka hanya mengikuti tren tanpa alasan yang kuat. Meskipun ia mendukung Golkar, ia menekankan bahwa partai tersebut harus memperbaiki citra dan tetap mengutamakan kesejahteraan rakyat.

Di akhir wawancara, Gus Mik menyampaikan pesan tentang pentingnya ketakwaan dan ketulusan dalam beribadah. Ia menekankan bahwa iman yang kuat harus diwujudkan dengan syukur dalam setiap keadaan, baik dalam kekurangan maupun kelimpahan. Bagi Gus Mik, kemuliaan di hadapan Allah tidak ditentukan oleh kekayaan, melainkan oleh sikap hati yang saleh dan ikhlas.

Gus Mik adalah contoh kiai yang tidak hanya fokus pada ritual agama, tetapi juga peka terhadap perubahan sosial, globalisasi, ekonomi, dan politik, serta berbagai persoalan duniawi yang dihadapi umatnya. Pandangannya yang moderat dan terbuka menjadikan Gus Mik tokoh yang dihormati dan dicari banyak orang untuk meminta nasihat, baik spiritual maupun praktis.